Sebagian besar diantara
kita mungkin tak asing dengan penggalan lirik yang dinyanyikan koes plus. Ya
Koes bersaudara menggambarkan kepada kita betapa suburnya negeri ini. Jangankan
bibit tanaman, tongkat saja bisa menjadi tumbuhan jika ditanam. Sehingga bangsa
ini tidak pernah kekurangan makanan, bahkan bisa membantu bangsa lain
sebagaimana ketika kita mengekspor beras ke beberapa Negara di Asia Tenggara
dan membantu ribuan ton Negara Afrika yang kelaparan. Kini masihkah tanah kita
seperti tanah surga ? Mungkin saja masih, tapi berapa banyak tanah surga yang
tersisa ? Tanah kita memang subur, apa saja bisa tumbuh di negeri ini, hingga
jutaan komplek rumah tinggal, pabrik, dan properti pun dapat tumbuh diatasnya.
Tanah yang subur yang menghadirkan kemakmuran bagi rakyatnya kini hanya bisa
memakmurkan segelintir orang saja. Ribuan atau bahkan jutaan petani
menanggalkan profesi mulianya dan merelakan lahan pertanianya diahlifungsikan
menjadi proyek Real Estate. Alasanya, hasil tani yang mereka dapatkan tidak
menjanjikan untuk menopang hidup mereka, sehingga profesi lain yang lebih
instan seperti tukang ojek dan buruh lepas menjadi pilihan. Alasan lainya hasil
tani tidak laku karena pemerintah dan masyarakat lebih doyan produk impor.
Sementara pemerintah juga memiliki alibi untuk mengimpor produk holtikultura
karena petani tidak produktif, dan begitu seterusnya.
Akibat dari semua itu,
lagi-lagi masyarakat kecil yang jadi korban, bahan kebutuhan pokok langka di
pasaran, kalaupun ada harganya sangat tinggi. Masyarakat pun harus merogoh
kocek lebih dalam sementara penghasilan mereka tidak mengalami peningkatan.
Yang mengkhawatirkan dari semua efek itu adalah munculnya kemiskinan baru di
negeri ini. Kedaulatan pangan yang dicita-citakan rasanya masih jauh untuk
digapai. Jangankan kedaulatan, kemandirian pangan saja nampaknya masih jauh
panggang dari api. Sebagai contoh kita dipusingkan dengan harga kedelai yang
melambung tinggi. Terjadi unjuk rasa produsen dan pedagang tahu-tempe
diberbagai daerah, bahkan ada yang melakukan mogok produksi sehingga dalam
beberapa hari tempe dan tahu langka di pasaran. Beberapa penyebab dari krisis
kedelai ini adalah rendahnya produksi kedelai dalam negeri sehingga pemerintah
harus mengimpor. Sebagaimana kita ketahui, konsekuensi dari kebijakan importasi
adalah ketergantungan yang sangat tinggi kepada Negara luar. Akibatnya, ketika
beberapa Negara pengimpor kedelai seperti Amerika tengah mengalami paceklik,
kita terkena imbasnya. Sebagai gambaran kebutuhan kedelai nasional yang
mencapai 2,5 juta-2,7 juta ton ini, baru dipenuhi sekitar 700ribu-800ribu ton.
Untuk menutupi sisanya, tentu saja kita harus impor. Padahal praktik impor
rentan menimbulkan persoalan baru, yaitu kartel. Akibatnya harga pun melambung
tinggi, dan lagi-lagi masyarakat kecil yang dirugikan.
Analisis Masalah
Masihkah ada harapan ?
Sebegitu gawatkah kondisi pangan kita ? Masih kah kita dapat meraih kembali
kedaulatan pangan sebagaimana yang pernah kita capai pada masa lalu ? Tentu
saja harapan itu masih ada. Selama kita bisa mengoptimalkan anugerah kesuburan
yang kita miliki dan mengoptimalkan ketersediaan lahan yang ada. Selain itu
sumber daya manusia, mulai dari pemimpin dan pejabat Negara, teknisis
pertanian, pelaku usaha, akademisi, hingga tenaga kerja usaha tani harus memiliki
kesadaran dan kesepahaman yang sama untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Orang
bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu menjadi tanaman, Masihkah
tanah kita seperti tanah surga ? Mungkin saja masih, tapi berapa banyak tanah surga
yang tersisa ?
Sumber : Tabloid SwaraCinta
Sumber : Tabloid SwaraCinta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar