Translate

Selasa, 07 Januari 2014

Mimpi Kedaulatan Pangan

Sebagian besar diantara kita mungkin tak asing dengan penggalan lirik yang dinyanyikan koes plus. Ya Koes bersaudara menggambarkan kepada kita betapa suburnya negeri ini. Jangankan bibit tanaman, tongkat saja bisa menjadi tumbuhan jika ditanam. Sehingga bangsa ini tidak pernah kekurangan makanan, bahkan bisa membantu bangsa lain sebagaimana ketika kita mengekspor beras ke beberapa Negara di Asia Tenggara dan membantu ribuan ton Negara Afrika yang kelaparan. Kini masihkah tanah kita seperti tanah surga ? Mungkin saja masih, tapi berapa banyak tanah surga yang tersisa ? Tanah kita memang subur, apa saja bisa tumbuh di negeri ini, hingga jutaan komplek rumah tinggal, pabrik, dan properti pun dapat tumbuh diatasnya. Tanah yang subur yang menghadirkan kemakmuran bagi rakyatnya kini hanya bisa memakmurkan segelintir orang saja. Ribuan atau bahkan jutaan petani menanggalkan profesi mulianya dan merelakan lahan pertanianya diahlifungsikan menjadi proyek Real Estate. Alasanya, hasil tani yang mereka dapatkan tidak menjanjikan untuk menopang hidup mereka, sehingga profesi lain yang lebih instan seperti tukang ojek dan buruh lepas menjadi pilihan. Alasan lainya hasil tani tidak laku karena pemerintah dan masyarakat lebih doyan produk impor. Sementara pemerintah juga memiliki alibi untuk mengimpor produk holtikultura karena petani tidak produktif, dan begitu seterusnya.

Akibat dari semua itu, lagi-lagi masyarakat kecil yang jadi korban, bahan kebutuhan pokok langka di pasaran, kalaupun ada harganya sangat tinggi. Masyarakat pun harus merogoh kocek lebih dalam sementara penghasilan mereka tidak mengalami peningkatan. Yang mengkhawatirkan dari semua efek itu adalah munculnya kemiskinan baru di negeri ini. Kedaulatan pangan yang dicita-citakan rasanya masih jauh untuk digapai. Jangankan kedaulatan, kemandirian pangan saja nampaknya masih jauh panggang dari api. Sebagai contoh kita dipusingkan dengan harga kedelai yang melambung tinggi. Terjadi unjuk rasa produsen dan pedagang tahu-tempe diberbagai daerah, bahkan ada yang melakukan mogok produksi sehingga dalam beberapa hari tempe dan tahu langka di pasaran. Beberapa penyebab dari krisis kedelai ini adalah rendahnya produksi kedelai dalam negeri sehingga pemerintah harus mengimpor. Sebagaimana kita ketahui, konsekuensi dari kebijakan importasi adalah ketergantungan yang sangat tinggi kepada Negara luar. Akibatnya, ketika beberapa Negara pengimpor kedelai seperti Amerika tengah mengalami paceklik, kita terkena imbasnya. Sebagai gambaran kebutuhan kedelai nasional yang mencapai 2,5 juta-2,7 juta ton ini, baru dipenuhi sekitar 700ribu-800ribu ton. Untuk menutupi sisanya, tentu saja kita harus impor. Padahal praktik impor rentan menimbulkan persoalan baru, yaitu kartel. Akibatnya harga pun melambung tinggi, dan lagi-lagi masyarakat kecil yang dirugikan.


Analisis Masalah


Masihkah ada harapan ? Sebegitu gawatkah kondisi pangan kita ? Masih kah kita dapat meraih kembali kedaulatan pangan sebagaimana yang pernah kita capai pada masa lalu ? Tentu saja harapan itu masih ada. Selama kita bisa mengoptimalkan anugerah kesuburan yang kita miliki dan mengoptimalkan ketersediaan lahan yang ada. Selain itu sumber daya manusia, mulai dari pemimpin dan pejabat Negara, teknisis pertanian, pelaku usaha, akademisi, hingga tenaga kerja usaha tani harus memiliki kesadaran dan kesepahaman yang sama untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu menjadi tanaman, Masihkah tanah kita seperti tanah surga ? Mungkin saja masih, tapi berapa banyak tanah surga yang tersisa ? 

Sumber : Tabloid SwaraCinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar