A. Latar belakang
Semenjak
gejolak dan kerusuhan sosial merebak di berbagai daerah, kesenjangan sosial
banyak dibicarakan. Beberapa pakar dan pengamat masalah sosial menduga bahwa
kerusuhan sosial berkaitan dengan kesenjangan sosial. Ada yang sependapat
dengan dugaan itu, tetapi ada yang belum yakin bahwa penyebab kerusuhan sosial
adalah kesenjangan sosial. Tidak seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan
sosial cukup sulit diukur secara kuantitatif. Jadi, sulit menunjukkan
bukti-bukti secara akurat. Namun, tidaklah berarti kesenjangan sosial dapat
begitu saja diabaikan dan dianggap tidak eksis dalam perjalanan pembangunan
selama ini. Di bagian ini dicoba menunjukkan realitas dan proses merebaknya gejala
kesenjangan sosial. Untuk mempermudah pembahasan, kesenjangan sosial diartikan
sebagai kesenjangan (ketimpangan) atau ketidaksamaan akses untuk mendapatkan
atau memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumber daya bisa berupa kebutuhan
primer, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, peluang berusaha dan kerja,
dapat berupa kebutuhan sekunder, seperti sarana pengembangan usaha, sarana
perjuangan hak azasi, sarana saluran politik, pemenuhan pengembangan karir,dan lain-lain.
Kesenjangan sosial dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat
sehingga mencegah dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan akses atau kesempatan-kesempatan
yang tersedia.Secara teoritis sekurang kurangnya ada dua faktor yang dapat
menghambat. Pertama, faktor-faktor yang
berasal dari dalam diri seseorang (faktor internal). Rendahnya kualitas sumberdaya
manusia karena tingkat pendidikan (keterampilan) atau kesehatan rendah atau ada
hambatan budaya (budaya kemiskinan). Kesenjangan sosial dapat muncul sebagai
akibat dari nilai-nilai kebudayaan yang dianut oleh sekelompok orang itu
sendiri. Akibatnya, nilai-nilai luas, seperti apatis, cenderung menyerah pada
nasib, tidak mempunyai daya juang, dan tidak mempunyai orientasi kehidupan masa
depan. Dalam penjelasan Lewis (1969), kesenjangan sosial tipe ini muncul karena
masyarakat itu terkungkung dalam kebudayaan kemiskinan. Kedua, faktor-faktor
yang berasal dari luar kemampuan seseorang. Hal ini dapat terjadi karena
birokrasi atau ada peraturan-peraturan resmi (kebijakan), sehingga dapat
membatasi atau memperkecil akses seseorang untuk memanfaatkan kesempatan dan
peluang yang tersedia. Dengan kata lain, kesenjangan sosial bukan terjadi
karena seseorang malas bekerja atau tidak mempunyai kemampuan sebagai akibat
keterbatasan atau rendahnya kualitas sumberdaya manusia, tetapi karena ada
hambatan-hambatan atau tekanan-tekanan struktural. Kesenjangan sosial ini
merupakan salah satu penyebab munculnya kemiskinan structural. Alfian, Melly G.
Tan dan Selo Sumarjan (1980:5) mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan
kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan
masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan
sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kemiskinan
struktural meliputi kekurangan fasilitas pemukiman, kekurangan pendidikan,
kekurangan komunikatif, kekurangan fasilitas untuk mengembangkan usaha dan
mendapatkan peluang kerja dan kekurangan perlindungan hukum. Faktor mana yang
paling dominan menyebabkan kesenjangan sosial. Kendati faktor internal dan
kebudayaan (kebudayaan kemiskinan) mempunyai andil sebagai penyebab kesenjangan
sosial, tetapi tidak sepenuhnya menentukan. Penjelasan itu setidaknya
mengandung dua kelemahan. Pertama, sangat normatif dan mengundang kecurigaan
dan prasangka buruk pada orang miskin serta mengesampingkan norma-norma yang
ada (Baker, 1980:6). Kedua, penjelasan itu cenderung membesar-besarkan
kemapanan kemiskinan. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa kaum miskin
senantiasa bekerja keras, mempunyai aspirasi tentang kehidupan yang baik dan
mempunyai motivasi untuk memperbaiki kehidupan mereka. Mereka mampu menciptakan
pemenuhan tutuntan kehidupan mereka (periksa misalnya kajian Bromley dan Chris
Gerry, 1979; Papanek dan Kuncoroyakti, 1986; dan Pernia, 1994). Setiap saat
orang miskin berusaha memperbaiki kehidupan dengan cara bersalin dan satu usaha
ke usaha lain dan tidak mengenal putus asa (Sethuraman, 1981; Steele, 1985). Jika demikian halnya, maka ihwal kesenjangan sosial tidak semata-mata karena
faktor internal dan kebudayaan, tetapi lebih disebabkan oleh adanya hambatan
structural yang membatasi serta tidak memberikan peluang untuk memanfaatkan
kesempatan-kesempatan yang tersedia. Breman (1985:166) menggambarkan bahwa bagi
yang miskin “jalan ke atas sering kali dirintangi”, sedangkan: “jalan menuju ke
bawah terlalu mudah dilalui”. Dengan kata lain, gejala kesenjangan sosial dan
kemampuan kemiskinan lebih disebabkan adanya himpitan structural. Perlu
dipertanyakan mengapa masyarakat dan kaum miskin pasrah dengan keadaan itu?
Ketidakberdayaan (politik) dan kemiskinan kronis menyebabkan mereka mudah
ditaklukkan dan dituntun untuk mengikuti kepentingan dan kemauan elit penguasa
dan pengusaha. Apalagi tatanan politik dan ekonomi dikuasai oleh elit penguasa
dan pengusaha.
B. Penyebab kemiskinan
Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
- penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin;
- penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga;
- penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar;
- penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi;
- penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan
pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia) misalnya
memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin yaitu,
orang yang tidak sejahterah atau rencana bantuan publik, namun masih gagal
melewati atas garis kemiskinan.
C. Menghilangkan kemiskinan
Tanggapan utama terhadap kemiskinan adalah:
- Bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak zaman pertengahan.
- Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang dijalankan untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukuman, pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain.
- Persiapan bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara langsung kepada orang miskin, banyak negara sejahterah menyediakan bantuan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan.
D. Kesimpulan
Kemiskinan dan kesenjangan sosial
telah menjadi masalah yang kronis, terutama di negara kita Indonesia. Masih
banyak saudara-saudara kita yang menjerit karena kemiskinan, seharusnya
pemerintah melakukan sebuah terobosan seperti pelatihan kewirausahaan agar
masyarakat miskin atau yang kurang mampu dapat produktif dan meningkatkan
kualitas hidupnya.
E. Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar