A. Pendahuluan
Meskipun reformasi perpajakan yang pertama
kali dilakukan di Indonesia telah berlangsung lebih dari 25 tahun, namun untuk
pertama kalinya yaitu dalam perubahan ketiga atas undang-undang nomor 6 Tahun
1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Pajak adalah kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Saat
ini ada pemikiran dari segelintir masyarakat yang melontarkan gagasan atau
pemikiran untuk tidak membayar pajak. Mereka berpendapat bahwa karena meskipun
sudah membayar pajak, namun mereka merasa tidak mendapatkan manfaat apapun dari
pemerintah. Selain itu, penggunaan pajak oleh pemerintah dinilai tidak
transparan.
Fungsi Pajak:
·
Sebagai sumber penerimaan negara yang
aman,murah, dan berkelanjutan
·
Sebagai Instrumen keadilan dan
pemerataan
·
Sebagai Instrumen untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi dan sosial
B. Contoh kasus
Di tengah usaha pemerintah menggenjot
penerimaan pajak, lagi-lagi muncul kasus dugaan korupsi dengan tersangka
seorang pegawai pajak. Di tengah kampanye pemberantasan korupsi dan reformasi
birokrasi yang menjadi program keunggulan pemerintah, maka mencuatnya kasus
korupsi pegawai pajak ini layaknya reklame paradoks di tengah keramaian. Indonesia
dalam sistem perpajakan menganut pola self asessment atau penilaian kewajiban
pajak dilakukan sendiri oleh wajib pajak. Agar berjalan optimal, sistem ini menuntut
dukungan basis data yang komprehensif dan akurat. Direktorat jendral pajak dan
dinas pendapatan daerah sejauh ini belum punya basis data yang komprehensif dan
akurat. Akibatnya, alih-alih bisa mengecek silang, pemerintah hanya bisa
menerima pajak sesuai dengan laporan saja. Tak sedikit suara-suara minor
menyebutkan, jangan-jangan basis data sengaja tidak menjangkau semua yang
seharusnya dijangkau pajak agar wilayah abu-abu atau ruang yang tak tercatat
itu tetap lestari. Data ekslusif pasti punya selling point, prinsip ini memang
berlaku dimana saja. Namun yang jelas, basis data pajak masih terbilang
minimalis. Dari 12 juta badan usaha yang berdomisili tetap dan aktif, baru
446.000 badan usaha diantaranya atau 3,6 persen menyampaikan laporan tahunan.
Dari 110 juta jiwa aktif bekerja, hanya 8,5 juta diantaranya atau 7,7 persen
wajib pajak pribadi yang menyerahkan surat pemberitahuan tahunan. Dari tingkat
partisipasi pajak yang sekecil itu saja, penerimaan pajak tahun 2011 sebesar Rp
878,7 triliun. Tahun ini targetnya Rp 1.032,5 triliun. Artinya yang tidak
tercatat membayar pajak nilainya masih sangat besar. Di bidang pertambangan,
misalnya Direktur jendral pajak Fuad Rachmany menyatakan pemerintah belum
memiliki basis data yang komprehensif dan akurat. Selama ini pemerintah hanya
menerima pajak sebagaimana dilaporkan perusahaan tanpa pernah tahu seberapa
besar produksi rill dan ekspornya. Akibatnya, potensi rill pajak disektor
pertambangan tak mengalir secara maksimal ke kas negara.
Ditjen pajak baru mulai melakukan sensus
pajak nasional per September tahun lalu. Tahun ini program itu rencananya akan
dilanjutkan. Tidak bisa dipungkiri masih banyak terjadi persoalan di lapangan.
Disamping basis data yang minim, perpajakan juga menghadapi persoalan pada
regulasinya sendiri yang beberapa diantaranya masih multi interpretatif. Ini
mulai dari tingkat surat keputusan direktur jendral pajak sampai undang-undang.
Akibatnya sengketa pajak terus bermunculan. Menurut Darussalam, pengamat
perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center, ada 12.000 kasus sengketa pajak
tercatat sepanjang tahun 2010. Dalam kasus-kasus sengketa pajak itulah sebagian
besar bibit-bibit korupsi di perpajakan bersemi. Contohnya adalah Gayus
Tambunan. Dalam sengketa pajak, wajib pajak tentu ingin kewajiban bayar
pajaknya ditekan sekecil mungkin. Di mata oknum pegawai pajak dan pengadilan,
ini adalah peluang menjual jasa “sulap”. Kompromi pun dilakukan, seperti kata
Iwan Fals “tawar-menawar harga pas,tancap gas”. Laporan pajak kemudian disulap
sedemikian rupa untuk menciutkan nilai pajak yang seharusnya dibayarkan.
Kompensasinya berupa ongkos “salam tempel” kepada para penyulap laporan pajak.
Ketika basis data minimum dan sengketa pajak menumpuk gara-gara regulasi yang
multi-interpretatif, ruang kompromi tercipta dan mengundang para pemangku kepentingan
perpajakan untuk masuk ke dalam kegelapan. Simsalabim
Satistik
Realisai Penerimaan Pajak Dalam Negeri Tahun 2012
No
|
JENIS PAJAK
|
01-JAN
|
02-FEB
|
03-MAR
|
1
|
PPh NON MIGAS
|
30.190,26
|
25.957,69
|
28.897,79
|
2
|
PPh MIGAS
|
3.976,66
|
3.221,76
|
5.133,22
|
3
|
PPN DAN PPnBM
|
22.575,51
|
21.291,38
|
22.130,31
|
4
|
PBB
|
136,62
|
134,35
|
441,84
|
5
|
PAJAK LAINNYA
|
306,51
|
322,00
|
335,93
|
C. Langkah-langkah
untuk mencegah korupsi yang berkaitan dengan pidana pajak :
1. Tingkatkan
kesejehateraan pegawai pemerintah dengan peningkatan pendapatan atau remunerasi
karyawan dengan diiringi penegakan didiplin berupa sanksi yang setimpal secara
konsisten sehingga mengurangi niat pegawai tesebut melakukan perbuatan suap
atau korupsi
.
2. Harus
diberikan akses langsung kepada masyarakat pembayar pajak untuk mengetahui
penggunaan pajak yang dilunasi sehingga memotivasi masyarakat untuk membayar
pajak dengan benar tanpa berupaya melakuklan pengemplangan pajak.
3. Terapkan
prinsip good corporate governance dalam tata kelola pemerintahan dengan
memperjelas reward and punishment serta tanggung jawab pekerjaan.
4. Tingkatkan
kualitas SDM pegawai pemerintah supaya dapat menjadi motor penggerak roda
pembangunan.
5. Sinkronisasikan
langkah koordinasi antara instansi penegak hukum yang bertugas memberanta
korupsi dengan Direktorat jen deral Pajak untuk mengedepankan penyelesaian
pengusutan pemenuhan kewajiban perpajakan apabila seseorang atau perusahaan
diduga melakukan tindak pidana korupsi.
6. Efektifkan
sosialisasi pencegahan korupsi kepada kalangan masyarakat terutama
pelajar/mahasiswa untuk dapat mendorong langkah pencegahan korupsi yang lebih
baik dari pada penindakan.
D.
Kesimpulan
Indonesia
menjadi miskin bukan karena indonesia tidak mempunyai berbagai potensi sumber
daya yang bisa dikelola, kemiskinan tersebut tak lain disebabkan kebiasaan para
pengelola negara ini mengambil uang yang bukan menjadi haknya. Korupsi
merajalela dalam berbagai aspek dan dimensi kehidupan sosial. Yang menjadi
korban tentu saja rakyat kecil yang harus hidup menderita. Maka dari itu
berhentilah korupsi, agar negara kita ini bisa maju dan sejahterah.
E.
Referensi
Rosdiana,Haula dan Slamet,Edi, Pengantar Ilmu Pajak, Edisi Pertama, Jakarta:
Rajawali Pers, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar